TREMATODA PADA FESES BADAK SUMATERA



Gambar 1. Cacing Hisap (Trematoda)
Trematoda disebut sebagai cacing isap karena cacing ini memiliki alat pengisap atau sucker yang tedapat pada baian anterior mulutnya.  Pasa saat menempel cacing ini mengisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh inannya. Dengan demikian maka Trematoda merupakan hewan parasit karena merugikan dengan hidup di tubuh organisme hidup dan mendapatkan makanan yang tersedia dari tubuh inangnya. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula yang tidak memiliki silia. Pada saat dewasa trematoda umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah tidak hanya pada manusia namun juga pada hewan termasuk termasuk satwa liar seperti badak. Infeksi cacing umumnya tidak ditandai dengan gejala klinis yang jelas. Namun, keberadaannya dalam tubuh hewan dapat mengganggu kesehatan hewan itu sendiri sehingga dapat menurunkan daya produksi dan reproduksinya. Hingga saat ini belum ada kajian yang rinci mengenai penyakit yang menyerang satwa liar. Pada pengujian ini dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit kecacingan, karena di Indonesia prevalensi kecacingan masih cukup tinggi, baik pada hewan maupun pada manusia. Penyakit tersebut menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi dan merupakan ancaman bagi kesehatan hewan pada umumnya


Gambar 2. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)

Menurut jurnal penelitian di Taman Nasional Way Kambas terdapat sampel feses badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) mengandung telur cacing trematoda. Taman Nasional Way Kambas merupakan hutan hujan tropis dataran rendah di Sumatera (Lampung). Suhu di Taman Nasional Way Kambas berkisar 25°C-30°C dengan kelembaban 80%-90%. Kondisi tersebut sangat mendukung sebagai media berkembangnya parasit cacing. Pada pengujian dengan metode Mc Master tidak ditemukan adanya telur cacing parasitik, namun pada uji Sedimentasi ditemukan  4 dari 9 (44,4%) sampel feses badak sumatera mengandung telur cacing parasitik.  Berdasarkan jenis cacingnya diketahui bahwa badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas terinfeksi cacing Schistosoma spp.
Gambar 3. Cacing Schistosoma spp. Pada Feses Badak Sumatera

Berikut adalah klasifikasi dari Schistosoma spp.
Kingdom: Animalia
Filum: Platyhelminthes
Kelas: Trematoda
Ordo: Strigeiformes
Famili: Schistosomatidae
Genus: Schistosoma
Spesie: Schistosoma spp.


Morfologi telur cacing dari genus Schistosoma dicirikan dengan tidak memiliki operkulum, bertekstur tipis dan pada beberapa spesies memiliki spina lateral atau terminal. Telur cacing Schistosoma japonicum pada feses host berukuran 50-80 µm dan 70-100 µm berbentuk pendek, oval dengan spina lateral. Sedangkan Schistosoma spindale berukuran 70-90 µm dan 160-400 µm berbentuk rata memanjang pada satu sisi dan memiliki spina terminal. Ukuran telur cacing yang diperiksa pada pengujian ini sedikit berbeda dengan yang dinyatakan dalam pustaka ukuran telur cacing parasitik pada satwa liar tidak selalu sama dengan ukuran telur cacing parasitik pada satwa domestik. Telur cacing trematoda parasitik yang ditemukan pada badak sumatera merupakan genus cacing yang banyak ditemukan pada hewan ruminansia maupun hewan mamalia di seluruh dunia

Gambar 4. Morfologi Cacing Schistosoma spp.

Siklus hidup cacing meliputi tahap parasit dan hidup bebas. Tahap infektif untuk manusia adalah serkaria, yang hidup dan berenang bebas, tetapi berumur pendek (24-72 jam). Serkaria masuk ke dalam tubuh inang melalui penetrasi kulit yang berada di dalam air. Serkaria kemudian bertransformasi menjadi larva schistosomula, yang menembus sistem sirkulasi melalui pembuluh subkutaneus dan mencapai sistem sirkulasi pulmonal. Pada paru-paru, schistosomula memanjang, masuk ke pembuluh vena pulmonalis dan kemudian bergerak menuju jantung hingga kapiler darah sistemik. Jika schistosomula mencapai pembuluh splanchnic, schistosomula bergerak ke pembuluh kapiler untuk menuju sirkulasi  portal. Apabila tidak mencapai sirkulasi portal, schistosomula akan kembali ke jantung untuk bersirkulasi kembali. Dari kapiler mesenterika, schistosomula akan bergerak ke hati dan masuk ke dalam cabang-cabang intrahepatik vena portal dan mengalami maturasi menjadi cacing schistosome dewasa. Cacing fluke darah dewasa bersifat dioecious, yaitu jantan atau betina terpisah dan akan bermigrasi melalui pembuluh mesenterika untuk mencari pasangan, kawin dan memulai oviposisi pada dinding usus. Telur akan keluar dari tubuh manusia bersamaan dengan kotoran dan apabila telah mencapai air tawar, telur akan menetas untuk melepaskan mirasidia. Mirasidia merupakan tahap yang akan menginfeksi inang perantara siput. Mirasidia akan berkembang menjadi sporokista dan nantinya akan melepaskan serkaria 4-12 minggu setelah siput terinfeksi. Pada tahapan siklus hidup schistosom tidak memiliki tahapan redia.


Gambar 5. Siklus Hidup Sacing Schistosoma spp. 

Penyebaran telur cacing Schistosoma spp meliputi daerah tropis dan subtropis. Dimana inang antara Schistosoma spp. adalah siput. Pada umumnya infeksi cacing parasitik berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan cacing parasitik untuk mengelak dari pertahanan spesifik inang definitif. Schistosomosis kronis merupakan bentuk infeksi yang umum terdapat pada hewan ternak dengan gejala anemia, hipoproteinemia, diare dan ditandai ditemukannya telur cacing trematoda parasitik dalam feses hewan ternak. Kecacingan trematoda parasitik sangat memerlukan siput sebagai inang antara untuk cacing Schistosoma spp. akan tetapi dalam pengujian penelitian ini belum dilakukan pengamatan terhadap siput sebagai inang antara cacing trematoda parasitik yang ditemukan pada badak sumatera.

Sumber:
Salvana, E.M.T., King, C.H. 2009. “Schistosomiasis: Schistosoma japonicum,” In A.R. Satoskar et al (Eds.), Medical Parasitology, Landes Bioscience: 111-117.

Foreyt W. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual. Iowa State Press.

Soulsby, EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. New York and London. Academic Press.

Alnassir, W., King, C.H. 2009. “Schistosomiasis: Schistosoma mansoni,” In A.R. Satoskar et al (Eds.), Medical Parasitology, Landes Bioscience: 118-128



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ras Ginger , Ras yang sering terdiskriminasi

Best Fashion Game Sites

Bunga terindah di dunia (based on my opinion)