Gambar
2. Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis)
Menurut
jurnal penelitian di Taman Nasional Way Kambas terdapat sampel feses badak
sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)
mengandung telur cacing trematoda. Taman Nasional Way Kambas merupakan hutan
hujan tropis dataran rendah di Sumatera (Lampung). Suhu di Taman Nasional Way
Kambas berkisar 25°C-30°C dengan kelembaban 80%-90%. Kondisi tersebut sangat
mendukung sebagai media berkembangnya parasit cacing. Pada pengujian dengan
metode Mc Master tidak ditemukan adanya telur cacing parasitik, namun pada uji
Sedimentasi ditemukan 4 dari 9 (44,4%)
sampel feses badak sumatera mengandung telur cacing parasitik. Berdasarkan jenis cacingnya diketahui bahwa
badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas terinfeksi cacing Schistosoma spp.
Gambar
3. Cacing Schistosoma spp. Pada Feses
Badak Sumatera
Berikut
adalah klasifikasi dari Schistosoma spp.
Kingdom:
Animalia
Filum:
Platyhelminthes
Kelas:
Trematoda
Ordo:
Strigeiformes
Famili: Schistosomatidae
Genus: Schistosoma
Spesie:
Schistosoma spp.
Morfologi
telur cacing dari genus Schistosoma
dicirikan dengan tidak memiliki operkulum, bertekstur tipis dan pada beberapa
spesies memiliki spina lateral atau terminal. Telur cacing Schistosoma japonicum pada feses host berukuran 50-80 µm dan 70-100
µm berbentuk pendek, oval dengan spina lateral. Sedangkan Schistosoma spindale
berukuran 70-90 µm dan 160-400 µm berbentuk rata memanjang pada satu sisi dan
memiliki spina terminal. Ukuran telur cacing yang diperiksa pada pengujian ini
sedikit berbeda dengan yang dinyatakan dalam pustaka ukuran telur cacing
parasitik pada satwa liar tidak selalu sama dengan ukuran telur cacing
parasitik pada satwa domestik. Telur cacing trematoda parasitik yang ditemukan
pada badak sumatera merupakan genus cacing yang banyak ditemukan pada hewan
ruminansia maupun hewan mamalia di seluruh dunia
Gambar
4. Morfologi Cacing Schistosoma spp.
Siklus
hidup cacing meliputi tahap parasit dan hidup bebas. Tahap infektif untuk manusia
adalah serkaria, yang hidup dan berenang bebas, tetapi berumur pendek (24-72
jam). Serkaria masuk ke dalam tubuh inang melalui penetrasi kulit yang berada
di dalam air. Serkaria kemudian bertransformasi menjadi larva schistosomula,
yang menembus sistem sirkulasi melalui pembuluh subkutaneus dan mencapai sistem
sirkulasi pulmonal. Pada paru-paru, schistosomula memanjang, masuk ke pembuluh
vena pulmonalis dan kemudian bergerak menuju jantung hingga kapiler darah
sistemik. Jika schistosomula mencapai pembuluh splanchnic, schistosomula
bergerak ke pembuluh kapiler untuk menuju sirkulasi portal. Apabila tidak mencapai sirkulasi
portal, schistosomula akan kembali ke jantung untuk bersirkulasi kembali. Dari
kapiler mesenterika, schistosomula akan bergerak ke hati dan masuk ke dalam
cabang-cabang intrahepatik vena portal dan mengalami maturasi menjadi cacing
schistosome dewasa. Cacing fluke darah dewasa bersifat dioecious, yaitu jantan
atau betina terpisah dan akan bermigrasi melalui pembuluh mesenterika untuk
mencari pasangan, kawin dan memulai oviposisi pada dinding usus. Telur akan
keluar dari tubuh manusia bersamaan dengan kotoran dan apabila telah mencapai
air tawar, telur akan menetas untuk melepaskan mirasidia. Mirasidia merupakan
tahap yang akan menginfeksi inang perantara siput. Mirasidia akan berkembang
menjadi sporokista dan nantinya akan melepaskan serkaria 4-12 minggu setelah
siput terinfeksi. Pada tahapan siklus hidup schistosom tidak memiliki tahapan
redia.
Gambar 5. Siklus Hidup Sacing Schistosoma spp.
Penyebaran
telur cacing Schistosoma spp meliputi daerah tropis dan subtropis. Dimana inang
antara Schistosoma spp. adalah siput. Pada umumnya infeksi cacing parasitik
berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan
cacing parasitik untuk mengelak dari pertahanan spesifik inang definitif.
Schistosomosis kronis merupakan bentuk infeksi yang umum terdapat pada hewan
ternak dengan gejala anemia, hipoproteinemia, diare dan ditandai ditemukannya
telur cacing trematoda parasitik dalam feses hewan ternak. Kecacingan trematoda
parasitik sangat memerlukan siput sebagai inang antara untuk cacing Schistosoma spp. akan tetapi dalam
pengujian penelitian ini belum dilakukan pengamatan terhadap siput sebagai
inang antara cacing trematoda parasitik yang ditemukan pada badak sumatera.
Sumber:
Salvana, E.M.T., King, C.H. 2009. “Schistosomiasis: Schistosoma
japonicum,” In A.R. Satoskar et al (Eds.), Medical
Parasitology, Landes Bioscience: 111-117.
Foreyt W. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual. Iowa State
Press.
Soulsby, EJL. 1982.
Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. New York and
London. Academic Press.
Alnassir, W., King, C.H. 2009. “Schistosomiasis: Schistosoma mansoni,”
In A.R. Satoskar et al (Eds.), Medical Parasitology,
Landes Bioscience: 118-128
|
Komentar
Posting Komentar